Home

Oleh: Okky Madasari

Tak seorang pun meragukan pentingnya air susu ibu (ASI) untuk bayi. Tak seorang pun membantah memberikan ASI jauh lebih baik dibandingkan memberi susu formula. Tapi tak semua orang sadar, tidak semua perempuan bisa memberikan ASI dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.

Sore itu, dengan santai dan tanpa bermaksud apa-apa saya bertanya pada seorang teman yang memiliki bayi berusia 6 bulan, ”Minum ASI kan, ya?” Saya anggap itu pertanyaan biasa, karena hampir pasti semua ibu akan menyusui anaknya. Apalagi di tengah gencarnya kampanye pemberian ASI saat ini.

Di luar dugaan, teman saya itu menjadi berkaca-kaca. ”Enggak…enggak bisa keluar,” katanya dengan sedih.

Suaminya yang kemudian cepat-cepat mengendalikan situasi. ”Nggak apa-apa, soalnya ASI nya buat bapaknya,” katanya yang langsung memancing tawa.

Saya langsung sadar, pertanyaan tentang ASI adalah hal yang sensitif dan berpotensi menyinggung perasaan orang lain. Saya mencoba menebus perasaan bersalah dengan mengalihkan perhatian pada anaknya yang memang tak kalah sehat dan tak kalah pintar dibanding bayi-bayi lain yang mendapat ASI.

Sepanjang hari setelah peristiwa itu, saya masih terus menyesal dan berjanji pada diri sendiri untuk tak lagi bertanya tentang ASI pada siapapun kecuali saya benar-benar tahu ia memberi ASI untuk bayinya. Peristiwa sore itu sekaligus mengubah pandangan saya terhadap berbagai kampanye dan gerakan pemberian ASI yang gencar belakangan ini.

Kampanye sebagai Penyadaran

Kampanye ASI awalnya bertujuan untuk penyadaran kembali. Upaya untuk mengingatkan ibu-ibu yang cenderung malas memberikan ASI dan mengambil cara mudah memberikan susu formula. Maka berbagai kampanye digalakkan, berbagai informasi disebarkan. Tentang manfaat ASI, tentang buruknya susu formula. Sebuah upaya yang pantas diapresiasi karena manfaatnya yang luar biasa untuk meningkatkan kesehatan, daya tahan, hingga kecerdasan seorang bayi.

Kampanye ini bukan lahir dalam ruang hampa. Ada sebuah kondisi yang menjadi latar belakang sehingga pemberian ASI yang seharusnya merupakan proses alamiah harus dikampanyaken dengan gencar.

Pada periode tahun 80an sampai 90an, kampanye penggunaan susu formula marak di berbagai negara. Susu formula dianggap sebagai jalan keluar untuk mencegah kekurangan gizi dan meningkatkan kecerdasan anak. Pabrik-pabrik susu melakukan berbagai pendekatan ke penguasa dan dokter untuk merekomendasikan manfaat susu pada masyarakat. Maka salah satu bentuknya terciptalah konsep 4 sehat 5 sempurna yang menyertakan susu sebagai syarat pola hidup sehat. Bayi-bayi yang lahir pada periode itu, selain mendapat ASI dari ibunya, kebanyakan langsung mendapat susu formula dengan tujuan melengkapi kebutuhan mereka. Bahkan banyak pemahaman keliru yang menganggap susu formula memiliki kandungan yang lebih sempurna dibanding ASI.

Bersamaan dengan kejayaan kampanye susu formula, gerakan feminisme yang menuntut kesetaraan hak kaum perempuan juga tengah gencar dilakukan. Perempuan-perempuan yang sudah mulai mendapat hak sepenuhnya dalam berkarier, mendapat jalan keluar paling gampang ketika harus berhadapan dengan bayi-bayi mereka : susu formula. Mereka pun kebanyakan terlena banhkan cenderung enggan memberi ASI.

Lalu pada akhir tahun 90an dimulailah publikasi besar-besaran yang mengajak seluruh ibu kembali ke ASI terutama pada masa 6 bulan pertama dan sama sekali tidak memberikan susu formula. Publikasi ini juga dilengkapi hasil penelitian tentang keburukan susu formula. Berbagai organisasi berdiri. Berbagai buku terbit. Berbagai acara digelar. Tujuanya untuk mengajak perempuan kembali ke ASI dan mengatakan tidak pada susu formula.

Kampanye ini juga dikaitkan dengan isu feminisme yang menempatkan pemberian ASI sebagai hak perempuan. Karena itu perusahaan dituntut untuk memberikan cuti menyusui dan menyediakan ruang menyusui di kantor. Tempat-tempat umum, seperti mall, bandara, atau terminal, juga berkewajiban menyediakan ruang menyusui di areal mereka.

Dan kampanye ini berhasil. Saat ini bisa kita lihat bagaimana hampir setiap ibu berusaha memberikan ASI untuk bayinya dan mati-matian menolak susu formula. Memberikan ASI dianggap sebagai prestasi dan sesuatu yang layak dibanggakan. Maka bisa kita lihat bagaimana status Facebook ibu-ibu muda penuh dengan suka cita keberhasilan mereka memberikan ASI.

Penindasan Baru

Kampanye dan berbagai gerakan pemberian ASI percaya bahwa setiap perempuan yang melahirkan pasti bisa menyusui. Kesulitan perempuan memberikan ASI biasanya disebabkan oleh faktor psikologi dan kurangnya tekad dari perempuan itu sendiri. Memang itu benar. Tapi menurut saya itu tidak berlaku untuk semua orang.

Sebagaimana yang terjadi pada teman saya, segala cara telah dilakukan untuk bisa memberi ASI. Dia punya motivasi dan tekad besar sebagaimana ibu-ibu lainnya. Segala cara juga telah dilakukan untuk keluar dari kemungkinan dia punya hambatan psikologis. Tapi hasilnya tetap nihil.

Juga bagaimana dengan perempuan-perempuan lain yang memang secara kesehatan tidak memungkinkan untuk memberi ASI? Bagaimana pula dengan mereka yang karena alasan ekonomi harus langsung bekerja, berpisah dengan bayinya dalam jarak jauh sehingga memeras susu untuk jangka waktu tertentu bukanlah sebuah solusi? Bagaimana perasaan mereka, yang dalam kondisi tertentu ternyata tidak bisa memberikan ASI saat membaca berbagai ungkapan bangga teman-temannya di Facebook setelah berhasil menyusui bayinya?

Saat ini, memberikan ASI tidak lagi dipandang sebagai hak perempuan. Semuanya telah menjadi sebuah kewajiban yang tidak lagi terlahir sebagai proses alami tetapi juga bentuk konstruksi sosial. ASI juga telah menjadi komoditi, cara untuk mendapatkan eksistensi dan membanggakan diri. Konstruksi sosial pula yang secara tak sadar menempatkan perempuan yang tidak bisa menyusui pada lingkaran rasa bersalah dan penyesalan berkepanjangan, seolah-olah mereka tak sempurna sebagai perempuan, tak lebih sayang pada anaknya.

Bebaskan diri kita. Keluar dari rasa bersalah. ASI atau tak ASI seorang ibu mencintai dan akan memberikan yang terbaik untuk anaknya. Hak kita untuk berbahagia.  ****

Leave a comment