Home

Oleh: Okky Madasari

Saya tak terlalu menaruh perhatian saat Sandra Bullock memenangkan Oscar untuk perannya dalam “The Blind Side”. DVD yang sudah dibeli jauh-jauh hari sebelum pengumuman penghargaan itu tetap tak tersentuh. Alasannya sederhana saja, saya sedang malas nonton film yang temanya olahraga : tentang orang-orang yang dianggap enteng, lalu ternyata ditakdirkan sebagai bintang lapangan. Film itu pun semakin terlupakan, tertutup dvd-dvd baru yang terus dibeli setiap akhir minggu.

Hingga akhirnya tiga malam lalu, lima bulan lebih sejak penghargaan Oscar, dan entah sudah berapa lama sejak DVD itu tersimpan di laci, akhirnya saya menontonya. Tanpa alasan khusus. Tanpa pengharapan macam-macam. Pokoknya, ini film untuk mengisi waktu saja. Menonton sambil tiduran, main Twitter dari BB, mengobrol, sampai kemudian tiba-tiba saya memutuskan menghentikan dvd untuk memutarnya kembali dari awal. Ya, film ini memang istimewa.

Ceritanya sebenarnya sederhana saja. Tentang Michael- seorang remaja Afro-Amerika, bertubuh besar, tapi memiliki IQ rendah. Besar dalam kemiskinan tanpa kasih sayang keluarga membuatnya begitu asing dan tak lagi memelihara harapan. Sampai kemudian nasib mempertemukannya dengan keluarga kulit putih yang tak hanya memiliki materi tapi juga kasih sayang melimpah. Nyonya rumah yang diperankan Sandra Bullock, yang memiliki peran besar dalam segala hal yang dilakukan keluarga ini untuk Michael. Ialah yang pertama kali memutuskan mengajak Michael menginap, membelikan baju, sampai akhirnya memutuskan mengadopsi.

Michael pun mendapatkan kesempatan untuk mengolah potensi yang dimiliki. Tubuhnya yang besar dianggap bisa jadi modal untuk menjadi atlet football. Dia dimasukkan sekolah football. Latihan dan ikut pertandingan sebagaimana teman-temannya. Semuanya tak sia-sia. Michael jadi bintang. Semua universitas kemudian berebut menawarinya beasiswa.

Apakah seorang Michael bisa seperti itu jika tak pernah masuk sekolah football? Pastinya tidak. Bagaimana dia bisa berpikir tentang bakatnya, kalau perutnya terus kelaparan, sementara tak ada sekolah football yang gratis. Dan bagaimana dia bisa menunjukkan kemampuannya, kalau tak pernah ada pertandingan yang diikutinya? Juga apa jadinya nasib Michael, kalau tak pernah ada keluarga yang peduli padanya? Apa yang akan dilakukannya ketika kesempatan itu tak pernah ada?

‘The Blind Side” diangkat dari sebuah kisah nyata. Kini, Michael menjadi bintang football di Amerika. Masihkah ada yang lebih membanggakan bagi keluarga yang telah membukakannya pintu kesempatan dibanding keberhasilan ini?

Ah, film itu membuat dada saya terasa penuh, sementara air mata mendesak untuk dikeluarkan. Rasa haru, rasa iri, rasa bahagia, rasa sedih, semuanya teraduk-aduk menjadi satu. Memory saya berjalan, teringat perjalanan saya bersentuhan dengan anak-anak yang kurang beruntung dari berbagai daerah pedalaman : Jawa, Sumatera, Kalimantan. Masih teringat bagaimana ada yang begitu pintar mengarang cerita, menyanyi, dan olah raga. Bagaimana nasibnya sekarang? Apa jadinya mereka di masa mendatang? Mereka yang tak punya uang, mereka yang terbelakang dalam kemampuan, mereka yang begitu jauh dari kesempatan.

Leave a comment